Terbit di Harian Kendari Pos, Senin, 19/4/2021 Turistik adalah kata yang berasal dari tourism (pariwisata) dan tourist (wisatawan) yang ...
Turistik adalah kata yang berasal dari tourism
(pariwisata) dan tourist (wisatawan) yang diserap
untuk kepentingan dialogis tulisan ini. Larangan mudik yang sedang jadi
perhatian publik sekarang adalah kebijakan yang sangat tidak turistik. Banyak
pakar di Jakarta menilai kebijakan ini tidak efektif. Cuti bersama dipangkas, mudik
dilarang, tetapi tempat wisata dibuka. Kegiatan wisata dibolehkan asal patuh
protokol kesehatan. Publik pun dibuat berpikir kontradiktif menerima itu.
Publik diberi kepastian hukum bahwa mudik
dilarang dan ada saknsi bagi pelanggar, tetapi dibukanya tempat wisata, ini
yang akan mengubah pandangan publik menjadi auto-mobilities atau
mobiltas sosial yang otomatis. Daya tarik wisata yang dibuka tentunya saling
terhubung dengan simpul industri perjalanan wisata lain seperti terminal, pelabuhan,
hotel/penginapan, rumah makan, dan kompleks rekreasi. Kemudian yang namanya
daya tarik orang pasti akan tertarik mengujungi dan mobilitas sosial pasti akan
meningkat. Orang akan berduyun-duyun ke tempat wisata bersama keluarga,
katakanlah di Pantai Toronipa yang dekat dengan pusat kota.
Publik akan berpikir dan bergerak
secara auto-mobilities. Mobilitas sosial akan otomatis karena dari sisi
penawaran, daya tarik wisata itu dibuka. Permintaan untuk ke tempat wisata
diprediksi meningkat, mobilitas sosial pun menjadi keniscayaan. Secara sadar
publik akan otomatis melakukan perjalanan atau tidak lagi mengindahkan
larangan. Terlebih bagi yang jarak perjalanan hanya radius 50-150 Km atau
sekitar 2-3 jam perjalanan.
Memang akan ada pengendalian sosial,
tapi yang terjadi kemudian akan main kucing-kucingan antara para pengendali
sosial seperti kepolisian, satpol pp dan perhubungan, dengan publik yang mau
mudik. Skenario terburuk dari main kucing-kucingan itu nanti yang ada adalah
kompromi. Ujung-ujung-nya adalah duit biar dibantu perjalanannya agar sampai
tujuan. Di Indonesia, apa coba yang tidak bisa ketika kompromi atas nama uang pelicin
sudah tercapai kesepakatan antara yang menawarkan dan menerima. Kecuali kepada
mereka yang berpegang pada kitab suci dan patuh terhadap Amirul Mukminin.
Kembali ke dialektika kebijakan larangan
mudik, saya juga mau mengatakan bahwa kebijakan ini salah sambung. Ibarat kita
menelpon ke nomor istri, tetapi nyambungnya ke istri tetangga lalu keasikan. Jadinya
ada perselingkuhan, perselingkuhan kebijakan antara larangan mudik dan dibukanya
tempat wisata. Kebijakannya jadi jenaka, lucu dan bisa dijadikan bahan humor.
Padahal yang dirugikan nanti publik juga. Tidak hanya publik, sektor privat juga,
khususnya para pebisnis jasa pariwisata. Operator perjalanan pasti kecewa
dengan kebijakan ini. Ada karyawan yang perlu dibayar, belum lagi jika cicilan
angkutan transportasi masuk fase kritis. Pengusaha travel meradang dan rumah
makan di daerah tujuan maupun transit jadi defisit kunjungan.
Kajian pariwisata praktis mengatakan bahwa pergerakan
wisatawan dari tempat asal, singgah transit, hingga ke tempat tujuan biasanya
akan selalu diikuti pergerakan ekonomi. Katakanlah perjalanan dari Kota Kendari
ke Makassar singgah transit di Rate-rate membeli madu sebagai buah tangan. Perjalanan
memberikan stimulus ekonomi bagi tempat yang disinggahi dan dituju. Tren
kebijakan justru sebaliknya, mau menghidupkan industri pariwisata, tetapi saat
bersamaan dimatikan dengan kebijakan pemangkasan cuti dan larangan mudik itu. Sebenarnya
publik juga tidak defisit pengetahuan dan tahu bahwa kebijakan pemerintah
memang cenderung didikte Covid-19.
Kalau memang ada niat mau istiqomah di jalan
Covid-19, kebijakan mesti konsisten dan fair. Sekalian ditutup
saja tempat wisata atau diberikan insentif bagi penguasaha jasa pariwisata. Meskipun
insentif ini masih juga akan ada hambatan terkait pembagian yang proporsinal
bagi para pengusaha pariwsiata. Tidak proporsional jika besarnya insentif hanya
diberikan kepada pengusaha jasa yang memiliki koneksi dengan elit di pemerintah
lokal. Juknis insentif harus jelas dan institusi pendidikan harus
diikutsertakan dalam pendataan agar objektif.
Publik pun sesungguhnya sudah tahu bahwa
sekarang mulai dari anggaran, kebijakan, dan program kegiatan pemerintah
didikte oleh Covid-19. Tetapi publik juga sedang struggle for economy.
Potret terkini pada bulan Ramadhan, mobilitas sosial masyarakat ramai lancar di
mana-mana. Masyarakat menjual menu buka puasa di jalur pedestarian dan di
pinggir jalan raya. Mencari berkah ekonomi pada bulan puasa. Jelang waktu
berbuka, orang tidak lagi di rumah aja. Orang sudah pada keluar rumah untuk beli
menu buka puasa. Jalanan ramai mobilitas sosial tinggi, terus nanti jelang
mudik lebaran “disenyapkan”. Dari ramai ke sepi-senyap, ini ibarat sad boy dan
pretty woman yang lagi pacaran, sementara sayang-sayangnya diputuskan
karena salah satu pihak tidak mendapat restu dari Bapak. Bapak wong cilik, demi
tujuan “keteraturan sosial”.
Sebagai penutup, saya mau menekankan bahwa pembatasan sosial melalui larangan mudik ini adalah simulasi dan bisa jadi gagal, ketika publik berlaku auto-mobilities. Saya katakan simulasi karena pemerintah masih menawarkan dibukanya daya tarik wisata. Alih-alih ingin membuat pariwsata tetap hidup, malahan pariwisata dan pelaku bisnis pariwisata dimatikan perlahan dengan kebijakan pembatasan sosial itu. Kegiatan wisata itu mengundang keramaian lawan dari pembatasan sosial. Seharunsya istiqomah di jalan Covid-19, daya tarik wisata juga ditutup biar tidak turistik sekalian.
Penulis: Adhitia Pahlawan Putra
* Dosen Prodi Pariwisata Syariah IAIN Parepare
* Ketua Bidang Pengembangan Pariwisata dan Ekonomi Pesisir di Serikat NU Kab. Konawe
What do you do if you want a .125” thick sheet product reduce to +/-.005” tolerance? Today, with the quite a few electronics functions there's a want for sheet metallic to be reduce into 1000's of small pieces to precise tolerances. That is the place Howard Precision Metals and underwear sweat wicking their sawing expertise is useful. The way forward for} titanium sheet metallic fabrication techniques, expertise, and initiatives is incredibly exciting, and our team at APIAMS cannot wait to be half of} such an unimaginable industry. In truth, it wasn’t till the early 16th century that the first recorded reports of two rolling mills have been famous by historians.
BalasHapus